ARAHAN TENTANG MASA ORDE LAMA
PENDAHULUAN
Orde
Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia. Orde
Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi
komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan
sistem pemerintahan parlementer.
Masalah negara yang semakin
tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara membuata presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dari dekrit presiden 5 Juli 1959
yaitu, pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya UUDS 1950, pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini
mendapat dukungan dari lapisan masyarakat Indonesia. Kasad (kepala staf
Angkatan Darat) memerintahkan kepada segenap personil TNI untuk melaksanakan
dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut.
DPR dalam sidangnya tertanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan
kesediaannya untuk terus bekerja dengan berpedoman pada UUD 1945.
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 mendapat sambutan positif dari seluruh lapisan masyarakat yang sudah
jenuh melihat ketidakpastian nasinal yang mengakibatkan tertundannya upaya
pembangunan nasional. Dukungan spontan tersebut menunjukkan bahwa rakyat telah
lama mendambakan stabilitas politik dan ekonomi. Semenjak pemerintah Republik
Indonesia menetapkan dekrit presiden 5 Juli 1959, indonesia memasuki babak sejarah
baru, akni berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi terpimpin.
Orde Lama dibawah pimpinan
Presiden Soekarno berakhir setelah didahului oleh pemberontakan Partai Komunis
Indonesia yang gagal pada tanggal 30 September 1965. Dengan berbekal Surat
Perintah tertanggal 11 Maret 1966, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI
Angkatan Darat (Kostrad) pada waktu itu, Letjen TNI Soeharto membubarkan PKI
dan organisasi-organisasi masyarakat yang dinaunginya.
Gerakan pembersihan terhadap
unsur-unsur PKI ini kemudian berbuntut pada pembunuhan puluhan (ada pula yang
mengatakan ratusan) ribu penduduk Indonesia yang dicurigai terlibat atau
bersimpati pada gerakan komunis. Kuatnya stigma komunis yang menakutkan banyak
orang membuat sampai kini belum pernah ada penyelidikan independen mengenai
korban-korban yang jatuh pada saat itu, meskipun diyakini tidak semua korban
memang terbukti bersalah.
Atas dukungan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dipimpin oleh Ketuanya saat itu, Letjen
TNI Abdul Harris Nasution, Letjen TNI Soeharto kemudian dikukuhkan menjadi
pejabat Presiden Republik Indonesia. Kekuasaan Orde Baru dibawah presiden kedua
ini dikukuhkan melalui pemilihan umum tahun 1971.
RUMUSAN MASALAH
1.
Program - program apakah yang dijalankan
pemerintahan Soekarno pada masa orde lama ?
2.
Apakah kelemahan yang terjadi pada masa
orde lama ?
3.
Bagaimana tentang latar belakang dekrit
presiden dan dampak yang ditimbulkannya
?
4.
Bagaimana tentang G30SPKI dan arti
pentingnya ?
5.
Bagaimana jalannya demokrasi pada masa
orde lama ?
6.
Bagaimana tentang Supersemar dan dampak
yang ditimbulkannya ?
TUJUAN
1.
Mengetahui program - program yang
dijalankan pemerintahan Soekarno pada masa orde lama
2.
Mengetahui kelemahan yang terjadi pada
masa orde lama
3.
Mengetahui tentang latar belakang dekrit
presiden dan dampak yang ditimbulkannya
4.
Mengetahui tentang G30SPKI dan arti
pentingnya
5.
Mengetahui jalannya demokrasi pada masa
orde lama
6.
Mengetahui tentang Supersemar dan dampak
yang ditimbulkannya
METODE PENILISAN
a.
Pengumpulan Data
Tahap ini adalah tahap pengumpulan data – data. Pada tahap ini
kami mencaroi data dari berbagai sumber seperti inter dan buku – buku yang
nantinya akan dikembangkan.
b.
Identifikasi dan Perumusan
Masalah Pada tahap ini kami mencoba untuk merumuskan dan
mengidentifikasi permasalahan dengan
data yang sudah kami kumpulkan.
c.
Pembahasan
Pada tahap ini kami memulai membahas permasalan dengan mengacu
pada data – data yang sudah ada.
d.
Penyinpulan
Pada tahap penyimpulan kami menyimpulkan seluruh pembahasan yang
sudah kami buat
METODE FOCUS GROUP
DISCUSSION
1. Terlibat dalam pembuatan moderator
Guideline.
Moderator guideline adalah dokumen yang
berisi panduan bagi moderator mengenai topik FGD, pertanyaan apa yang harus
diajukan dan faktor-faktor apa yang ingin didalami (probe) dalam FGD.
Moderator guideline memiliki fungsi yang hampir sama dengan kuesioner pada
metode survei, sehingga perlu dipahami secara mendalam oleh moderator. Yang
paling baik tentu saja Anda sendiri sebagai moderator yang mengembangkan moderator
guideline, namun jika Anda tidak dapat melakukan hal ini, ikut terlibat
dalam pembuatannya adalah syarat minimal.
2. Membangun rapport dan suasana
yang menyenangkan di awal sesi.
FGD yang optimal diadakan dalam atmosfer
santai namun fokus. Jika peserta tertekan atau merasa tidak nyaman, maka
jawaban dan pernyataan yang dikeluarkannya seringkali bukanlah pernyataan yang
sebenarnya. Hal ini tentu membawa bias bagi kesimpulan yang ditarik. Suasana
santai dapat dibangun dengan layout ruangan yang cozy, dan relaxing
music yang diputar sebelum sesi dimulai. Sedangkan rapport dibangun
dengan bincang-bincang santai antara moderator dan peserta yang datang terlebih
dahulu. Jangan pernah membiarkan peserta datang tanpa disambut dengan hangat,
atau peserta akan menyesal telah memutuskan untuk menghadiri sesi ini.
3. Latih dan manfaatkan peripheral
vision
Jika anda menatap lurus ke depan fokus
pada suatu benda yang berjarak kurang lebih 2-3 meter, perhatikan bahwa yang
tertangkap pandangan Anda bukan hanya benda tersebut. Tanpa menggerakkan bola
mata, Anda tetap dapat melihat benda yang kurang lebih berada di samping kanan
atau kiri. Inilah yang disebut peripheral vision. Saya biasa melatih
cara memandang ini untuk mengetahui bahasa tubuh peserta FGD lain ketika
pertanyaan saya ajukan kepada salah satu peserta. Bahasa tubuh peserta lain
yang memberi pesan setuju atau tidak setuju, perlu kita perhatikan sebagai
eksplorasi pendapat pada suatu pokok bahasan.
4. Mulai dari yang luas, mengerucut kepada
yang spesifik.
Setelah kita mengajukan pertanyaan yang
umum, jawaban biasanya masih bersifat lateral dan sangat bervariasi. Jangan
terjebak untuk mendalami setiap respons pada kali pertama respons tersebut
muncul, atau Anda akan merasa terjun terlalu detail sehingga kehilangan big
picture atas pertanyaan tersebut. Biasakan untuk melakukan listing dengan
menuliskan pada secarik kertas atau jika ingin terlihat luwes, hapalkan saja.
Setelah semua alternatif respons keluar, baru Anda coba untuk mendalami satu
per satu.
5. Lihat juga yang tersirat, bukan hanya
yang tersurat.
Isi respons adalah suatu hal, namun
bagaimana cara menyampaikan jawaban tersebut juga unsur lain yang perlu
diperhatikan. Lihat secara lebih dalam apabila muncul ; senyum kecut, tertawa
sinis, anggukan yang gamang, atau respons berapi-api yang tidak wajar. Hal-hal
ini memberi sinyal bahwa ada sesuatu di balik jawaban yang diberikan.
6. Gunakan Humor untuk mencairkan suasana.
Banyak keadaan kritis yang bisa
dinetralisir dengan humor. Kadang-kadang resistensi atau keengganan menjawab
juga dapat diminimalisir dengan humor. Namun demikian, selami budaya peserta
untuk memastikan bahwa humor Anda bukan yang menyinggung namun mendekatkan
hubungan Anda dan peserta FGD.
7. Jangan menerima jawaban umum yang
normatif.
Save the best for last. Saya
menyimpan tips paling penting di akhir tulisan ini. sebagai moderator FGD,
kualitas analisis kita ditentukan oleh seberapa spesifik respons yang kita
dapatkan. Kita tidak menerima jawaban semacam : “ohh service di outlet ini
bagus kok…” Jika mendapat jawaban seperti itu, indera moderator Anda harus
berdering dan ajukan pertanyaan untuk mendalami jawaban tersebut seperti ;” bagus
seperti apa yang ibu maksud..?”. nah kejelian Anda untuk mengidentifikasi
respons semacam ini perlu selalu diasah. Amati respons yang memiliki unsur generalisasi,
distorsi, atau eliminasi.
PEMBAHASAN
1. Progaram yang dijalankan presiden
Soekarno yaitu:
Pembangunan
Pada
era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967,
pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang menetapkan sedikitnya
tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional:
·
TAP
MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara
·
TAP
MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional
Semesta Berencana 1961-1969,
·
Ketetapan
MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dengan dasar perencanaan tersebut membuka peluang dalam
melakukan pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak baru dalam
mencipatakan iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan sejahtera. Proses
mengrehablitasi dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS ini diutamakan
dalam melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong pembangunan nasional
yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca penjajahan Belanda.
Pada tahun 1947 Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali
dengan lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947
ini masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu itu
(meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah nonekonomi
khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia Belanda,
prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial). Tanpa
perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud. Apalagi
jika tidak diperkuat oleh Undang-Undang yang baku pada masa itu.
Sekitar tahun 1960 sampai 1965 proses sistem perencanaan pembangunan mulai
tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah
menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan untuk
memperbaiki kesejahtraan rakyat.
Pada
masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram. Persediaan
beras menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengimpor
beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang membubung tinggi,
yang tercermin dari laju inflasi yang samapai 650 persen ditahun 1966. keadaan
plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak sehingga proses pembangunan
Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya muncul gerakan pemberontak
G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soekarno.
Kebijakan Ekonomi Dalam Pembangunan
Masa
pemerintahan Soekarno kebijakan ekonomi pembangunan masih sangat labil, yang
didera oleh berbagai persoalan antaranya pergejolakankan politik yang belum
kondusif dan juga system pemerintahan yang belum baik, sehingga berdampak pada
proses pengambilan kebijakan.
a.
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan
ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan
oleh :
·
Inflasi
yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang.
·
Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
·
Kas
negara kosong.
·
Eksploitasi
besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
·
Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
·
Upaya
menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan
tujuan ke Singapura dan Malaysia.
·
Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Kasimo
Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian
akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber
kekayaan).
b.
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa
ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
·
Gunting
Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
·
Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
·
Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
c.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai
akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan
ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di
masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
·
Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
·
Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
·
Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1.Tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Kegagalan-kegagalan
dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek
mercusuar yang dilaksanakan pemerintah dan juga sebagai akibat politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.
Menetapkan pembubaran konstituante
Kegagalan konstituante dalam
menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran
sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Maka dari itu
Presiden Soekarno membubarkan
konstituante.
Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali
sebagai konstitusi negara dan tidak berlakunya UUDS 1950.
Keadaan
yang semakin bertambah kacau ini dapat mengancam keutuhan Negara dan bangsa
Indonesia dari dalam negeri. Suasana semakin bertambah panas,
ketegangan-ketegangan diikuti oleh keganjilan sikap dari setiap partai politik
dalam konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar
pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang.
Hal tersebut membuat UUD 1945 kembali digunakan.
Pembentukan MPRS dan DPRS
MPRS dan lembaga tinggi negara
berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
2. Kelemahan-
Kelemahan pada masa orde lama
a.
Perekonomian
berjalan tidak mulus disebabkan ketidakstabilan politik dalam negeri yang
dicerminkan oleh beberapa pemberontakan di sejumlah wilayah.
b.
Kondisi
perekonomian Indonesia di orde lama hampir mengalami stagflasi selama 1965 –
1966 dengan PDB hanya 0,5 persen dan 0,6 persen
c.
Kehancuran
ekonomi Indonesia menjelang akhir periode orde lama juga di dorong oleh
hiperinflasi yang pada tahun 1966 mencapai 650%.
d.
Sistem
perekonomian terpengaruh haluan komunis meskipun indonesia berdasrkan haluan
pancasila
3.
Lahirnya
Dekrit Presiden 1959 pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan
Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota
konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya
sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di
kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin
kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di
depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk
kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan
suara. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini
harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali
dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini
Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante
memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang diumumkan sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa. Keluarnya Dekrit Presiden menandai berakhirnya Demokrasi
Liberal dan dimulainya Demokrasi Terpimpin. Dampak positif dari dekrit presiden
yaitu,
1. Terbentuknya MPRS dan DPAS, Badan ini bertugas untuk memberikan
pemerataan hukum kepada segenap bangsa Indonesia.
2.
Persatuan dan Kesatuan sebagai Penetralisir Konflik Rakyat, Dengan
kembalinya Indonesia kepada UUD 1945 dengan pancasila sebagai dasar Negara dan
sebagai semboyan yang mendongkrak konsep pancasila bangsa sehingga konflik yang
ada pada masa itu dapat teredam dan reda dengan perlahan.
3.
Aktifnya dan Bersatunya Kekuatan Militer Indonesia, diwujudkan
dengan upaya pemerintah saat itu untuk
menyatukan seluruh angkatan bersenjata republic Indonesia.
4.
Penerapan Demokrasi Terpimpin, Dengan adanya system demokrasi
terpimpin maka kekuasaan seluruhnya berada ditangan presiden serta lembaga
legislative yang mendukung segala bentuk kebijakan yang diputuskan oleh
presiden. Sehingga segala bentuk usaha pemberontakan dapat direda dengan
UUD
1945 sebagai tameng pemerintah daam menjalankan roda pemerintahan.
Dampak Negatif,
UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 1945 yang harusnya
menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya
hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. Selain memberi kekeuasaan yang besar
pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa
Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru. Ternyata juga memberi
peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer
terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin
terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
4. Pengertian
Gerakan 30 September
(dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam
perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam
suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai
Komunis Indonesia.
Korban G 30 S-PKI
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh
tersebut adalah:
Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca Kejadian
Pemakaman para
pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Peringatan
Monumen Pancasila
Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian
tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30
September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai
kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia
setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan
hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
5. Pelaksanaan
demokrasi pada masa Orde Lama:
a. Masa
demokrasi Liberal 1950-1959. Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden
sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif.
Masa demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan
berkembangnya partai-partai politik. Namun demikian praktik demokrasi pada masa
ini dinilai gagal disebabkan: Dominannya partai politik; Landasan sosial
ekonomi yang masih lemah; Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti
UUDS 1950. Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959: Bubarkan konstituante; Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S
1950; Pembentukan MPRS dan DPAS
b. Masa demokrasi
Terpimpin 1959-1966. Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No.
VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara
gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner
dengan berporoskan nasakom dengan ciri: Dominasi Presiden; Terbatasnya peran
partai politik; Berkembangnya pengaruh PKI; Penyimpangan masa demokrasi
terpimpin antara lain: Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak
yang dipenjarakan. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh
presiden dan presiden membentuk DPRGR; Jaminan HAM lemah; Terjadi sentralisasi
kekuasaan; Terbatasnya peranan pers; Kebijakan politik luar negeri sudah memihak
ke RRC (Blok Timur). Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September
1965 oleh PKI.
6. SUPERSEMAR
Peristiwa lahirnya Surat
Perintah 11 Maret atau yang biasa dikenal dengan sebutan Supersemar hingga kini
masih menjadi masalah tersendiri di kalangan para sejarawan atau siapapun yang
tertarik untuk melakukan studi mengenai surat perintah tersebut karena sejarah
dan keberadaan naskah asli dari surat tersebut masih kontroversial. Salah satu
hal yang menyebabkan Supersemar menjadi kontroversial adalah tidak adanya
keterangan yang pasti dari para pelaku dan saksi sejarah yang terlibat dalam
peristiwa lahirnya surat perintah tersebut. Padahal, Supersemar memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Penting sekali untuk mengkaji mengenai masalah Supersemar karena surat perintah
tersebut telah menjadi suatu titik awal proses peralihan kekuasaan dari
Presiden Soekarno ke Letnan Jenderal Soeharto.
Setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30
September 1965, Indonesia mengalami krisis di bidang politik, sosial dan
ekonomi. Sekitar lima ratus ribu rakyat Indonesia yang dituduh sebagai anggota
PKI tewas akibat pembantaian massal yang dilakukan oleh dua gabungan kekuatan,
yaitu sipil dan militer. Pembantaian tersebut terjadi di Jawa Tengah dan meluas
hingga ke Jawa Timur dan Bali. Peristiwa ini berlangsung pada pekan ketiga
bulan Oktober hingga bulan Desember 1965. Rakyat yang menjadi korban tersebut
dibunuh tanpa melalui proses pengadilan yang sah. Hal tersebut dikarenakan
tuduhan angkatan darat yang menyebutkan bahwa PKI-lah dalang dari peristiwa
G30S.
Kembali kepada Supersemar.
Peristiwa lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966, tepatnya di
pagi hari, yaitu ketika Bung Karno sedang memimpin sidang Kabinet Dwikora yang
disempurnakan di Istana Merdeka. Ketika Bung Karno sedang berbicara, Brigadir
Jenderal M. Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa, masuk ke ruang sidang, ingin
memberitahu Brigadir Jenderal Amirmachmud, Pangdam V/ Jaya yang juga hadir
dalam sidang itu, bahwa di luar sedang ada sejumlah pasukan tak dikenal dan ini
menimbulkan kekhawatiran. Namun, Brigjen Sabur tidak berhasil menemui Brgjen
Amirmachmud. Brigjen Sabur lalu menyampaikan sebuah nota kepada Bung Karno yang
memberitahu perihal sejumlah pasukan tak dkenal yang berada di luar istana.
Setelah membaca nota yang disampaikan oleh Brigjen Sabur, Bung Karno menjadi gugup seketika dan segera bergegas meninggalkan Istana Merdeka bersama Dr. Soebandrio menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Sebelum pergi, pimpinan sidang diserahkan Bung Karno kepada Wakil Perdana Menteri II,
Setelah membaca nota yang disampaikan oleh Brigjen Sabur, Bung Karno menjadi gugup seketika dan segera bergegas meninggalkan Istana Merdeka bersama Dr. Soebandrio menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Sebelum pergi, pimpinan sidang diserahkan Bung Karno kepada Wakil Perdana Menteri II,
Letnan Jenderal Soeharto yang
tidak hadir dalam sidang tersebut karena sakit, kemudian mendengar berita
tentang apa yang terjadi di Istana Merdeka pada hari itu. Soeharto yang
merupakan satu-satunya menteri yang tidak hadir dalam sidang tersebut akhirnya
mengutus Brigjen M. Jusuf, Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen Amirmachmud ke
Istana Bogor untuk menemui Bung Karno.
Brigjen M. Jusuf, Brigjen
Basuki Rahmat, dan Brigjen Amirmachmud akhirnya berhasil menemui Bung Karno di
Istana Bogor dan pertemuan tersebut ternyata melahirkan Supersemar dimana surat
yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno tersebut berisi perintah Presiden
Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto. Beberapa perintah yang tertera di
dalam surat tersebut diantaranya adalah supaya Letjen Soeharto mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta
kestabilan jalannya pemerintahan, serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa
Presiden Soekarno yang juga berperan sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan
Pemimpin Besar Revolusi. Selanjutnya, Letjen Soeharto juga diminta untuk
melaporkan dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya dalam
Supersemar.
Beberapa pertanyaan pun muncul
sehubungan dengan lahirnya Supersemar. Pertama, apakah surat tersebut diketik
oleh Soekarno dan ditandatangani secara sukarela? Atau apakah surat tersebut
telah disiapkan oleh Soeharto dan selanjutnya Soekarno hanya tinggal
menandatanganinya mengingat kop surat tersebut adalah kop surat Markas Besar
Angkatan Darat? Kemudian, apakah surat dan salinan-salinan yang sempat beredar
di kalangan elit politik dan militer saat itu tidak diubah-ubah isinya? Dan,
dimanakah keberadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret? Seperti yang telah
disebutkan di atas, pertanyaan ini tak pernah terjawab dengan pasti mengingat
tidak ada atau tidak jelasnya keterangan dari para pihak yang terkait mengenai
Supersemar.
Ternyata setelah keluarnya Supersemar, posisi
Soekarno sebagai Presiden RI semakin tergerus akibat terjadinya dualisme
kekuasaan di dalam tubuh pemerintahan RI dimana Soekarno sebagai Presiden dan
Soeharto sebagai pelaksana segala tindakan pemerintah dengan bermodalkan
Supersemar. Dalam dokumen Amerika Serikat yang dikutip oleh Baskara T. Wardaya
dalam bukunya yang berjudul Membongkar Supersemar, disebutkan bahwa Supersemar
adalah suatu kudeta khas Indonesia. Dalam bukunya tersebut, Baskara T. Wardaya
menggunakan beberapa dokumen penting dari Amerika Serikat yang menunjukkan
bagaimana sikap Amerika Serikat yang sangat aktif memantau kondisi politik
Indonesia serta keterlibatan AS dalam perjalanan politik bangsa Indonesia saat
itu.
Supersemar memiliki pengaruh
yang cukup kuat dalam menentukan kebijakan dalam dan luar negeri. Di dalam
negeri, posisi Letjen Soeharto semakin menguat dan posisi Presiden Soekarno
semakin melemah akibat keluarnya Supersemar. PKI yang merupakan partai yang
sangat dekat dengan Bung Karno akhirnya dibubarkan oleh Soeharto dalam waktu
kurang dari 24 jam setelah Supersemar keluar. Soeharto juga melakukan
penangkapan terhadap belasan menteri yang dianggap pro Bung Karno dan terlibat
G30S. Rekayasa terhadap keanggataan MPRS juga dilakukan dan penetapan Supersemar
sebagai Ketetapan MPRS.
Status Presiden Soekarno
sebagai pesiden seumur hidup pun dicabut oleh MPRS karena pengaruh dari
Soeharto. Tidak hanya itu, MPRS yang sudah diatur oleh Soeharto ini nantinya
akhirnya berani menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Pidato
Nawaksara) berikut perbaikannya, dan akhirnya memberhentikan Presiden Soekarno
sebagai Presiden Indonesia.
Sementara itu, kebijakan luar
negeri Indonesia juga berubah tajam setalah keluarnya Supersemar. Indonesia
menjadi pro Barat. Hal tersebut terlihat dari menguatnya hubungan Indonesia
dengan Amerika Serikat dan normalisasi hubungan dengan Malaysia dimana
sebelumnya Bung Karno menganggap Malaysia sebagai antek-antek dari Nekolim (Neo
Kolonialisme dan Imperialisme). Selain itu, Indonesia juga kembali bergabung
bersama PBB. Semua hal tersebut sungguh bertentangan sekali dengan kebijakan
pada masa pemerintahan Soekarno, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin.
Dari keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa sejarah lahirnya Supersemar yang kontroversial ternyata
menimbulkan dampak yang sangat panjang terhadap perjalanan politik Indonesia.
Supersemar yang hingga kini belum diketahui keberadaan naskah aslinya telah
menjadi suatu senjata ampuh yang digunakan oleh Soeharto untuk menggerus
kepemimpinan Soekarno dan berkat Supersemar, Soeharto berhasil menjadi Pejabat
Presiden RI pada tahun 1967 dan Soeharto mulai mendirikan rezim Orde Baru.
Lahirnya orde baru ini diiringi dengan perjuangan yang sengit untuk menata
kembali seluruh tatanan kehidupan rakyat, bangsa, dan negara sesuai dengan
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945(4). Selanjutnya rezim Orde Baru
pun mulai berkuasa sepenuhnya dibawah kendali Soeharto hingga tiga puluhan
tahun lamanya.
KESIMPULAN
Pada masa orde lama progaram yang
dijalankan presiden Soekarno yaitu membentuk “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”
untuk meningkatkan pembangunan di Indonesia, Program Pinjaman Nasional
dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP,
dilakukan pada bulan Juli 1946 guna membangun perekonomian negaara,
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi menetapkan pembubaran
konstituante, menetapkan UUD 1945 berlaku kembali sebagai konstitusi negara dan
tidak berlakunya UUDS 1950, Pembentukan MPRS dan DPRS. Dekrit Presiden ini
bertujuan untuk memperbaiki kondisi politik di Indonesia. Lahirnya Dekrit
Presiden 1959 pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante
untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950.
Tedapat beberapa macam deokrasi pada
masa orde lama yaitu, masa demokrasi Liberal 1950-1959. Masa demokrasi liberal
yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala
Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi Terpimpin 1959-1966.
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong
diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan
nasakom
Pada masa orde lama terjadi
peristiwa Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI),
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal
1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa
orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian
dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. Pada masa orde lama
terdapat juga peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau yang biasa
dikenal dengan sebutan Supersemar merupakan surat perintah yang menjadi suatu
titik awal proses peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Letnan Jenderal
Soeharto.
Kelemahan- Kelemahan pada masa orde lama
yaitu, perekonomian berjalan tidak mulus disebabkan ketidakstabilan
politik dalam negeri yang dicerminkan oleh beberapa pemberontakan di sejumlah
wilayah, kondisi perekonomian Indonesia di orde lama hampir mengalami stagflasi
selama 1965 – 1966 dengan PDB hanya 0,5 persen dan 0,6 persen, kehancuran
ekonomi Indonesia menjelang akhir periode orde lama juga di dorong oleh
hiperinflasi yang pada tahun 1966 mencapai 650%., sistem perekonomian
terpengaruh haluan komunis meskipun indonesia berdasrkan haluan pancasila.
0 comments:
Post a Comment