Tuesday, April 8, 2014






ARAHAN TENTANG MASA ORDE BARU
 

PENDAHULUAN

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan [[1998].
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".



RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana jalannya program pemerintahan Soeharto ?
2.      Bagaimana keunggulan dan kelemahan program pemerintahan Soeharto ?
3.      Bagaimana lembaga negara yang ada pada masa orde baru dan kaitkan dengan teori trias politika montesqueue ?
4.      Bagaimana jalannya demokrasi yang terjadi ?
5.      Bagaimana bukti penguatan dan pelanggaran nilai pancasila  yang terjadi pada masa orde baru ?

TUJUAN
1.      Mengetahui jalannya program pemerintahan Soeharto
2.      Mengetahui keunggulan dan kelemahan program pemerintahan Soeharto
3.      Mengetahui lembaga negara yang ada pada masa orde baru dan kaitkan dengan teori trias politika montesqueue
4.      Mengetahui jalannya demokrasi yang terjadi
5.      Mengetahui bukti penguatan dan pelanggaran nilai pancasila  yang terjadi pada masa orde baru


METODE PENILISAN
a.       Pengumpulan Data
Tahap ini adalah tahap pengumpulan data – data. Pada tahap ini kami mencaroi data dari berbagai sumber seperti inter dan buku – buku yang nantinya akan dikembangkan.
b.      Identifikasi dan Perumusan
Masalah Pada tahap ini kami mencoba untuk merumuskan dan mengidentifikasi  permasalahan dengan data yang sudah kami kumpulkan.
c.       Pembahasan
Pada tahap ini kami memulai membahas permasalan dengan mengacu pada data – data yang sudah ada.

d.      Penyinpulan
Pada tahap penyimpulan kami menyimpulkan seluruh pembahasan yang sudah kami buat

METODE FOCUS GROUP DISCUSSION
1. Terlibat dalam pembuatan moderator Guideline.
Moderator guideline adalah dokumen yang berisi panduan bagi moderator mengenai topik FGD, pertanyaan apa yang harus diajukan dan faktor-faktor apa yang ingin didalami (probe) dalam FGD. Moderator guideline memiliki fungsi yang hampir sama dengan kuesioner pada metode survei, sehingga perlu dipahami secara mendalam oleh moderator. Yang paling baik tentu saja Anda sendiri sebagai moderator yang mengembangkan moderator guideline, namun jika Anda tidak dapat melakukan hal ini, ikut terlibat dalam pembuatannya adalah syarat minimal.
2. Membangun rapport dan suasana yang menyenangkan di awal sesi.
FGD yang optimal diadakan dalam atmosfer santai namun fokus. Jika peserta tertekan atau merasa tidak nyaman, maka jawaban dan pernyataan yang dikeluarkannya seringkali bukanlah pernyataan yang sebenarnya. Hal ini tentu membawa bias bagi kesimpulan yang ditarik. Suasana santai dapat dibangun dengan layout ruangan yang cozy, dan relaxing music yang diputar sebelum sesi dimulai. Sedangkan rapport dibangun dengan bincang-bincang santai antara moderator dan peserta yang datang terlebih dahulu. Jangan pernah membiarkan peserta datang tanpa disambut dengan hangat, atau peserta akan menyesal telah memutuskan untuk menghadiri sesi ini.
3. Latih dan manfaatkan peripheral vision
Jika anda menatap lurus ke depan fokus pada suatu benda yang berjarak kurang lebih 2-3 meter, perhatikan bahwa yang tertangkap pandangan Anda bukan hanya benda tersebut. Tanpa menggerakkan bola mata, Anda tetap dapat melihat benda yang kurang lebih berada di samping kanan atau kiri. Inilah yang disebut peripheral vision. Saya biasa melatih cara memandang ini untuk mengetahui bahasa tubuh peserta FGD lain ketika pertanyaan saya ajukan kepada salah satu peserta. Bahasa tubuh peserta lain yang memberi pesan setuju atau tidak setuju, perlu kita perhatikan sebagai eksplorasi pendapat pada suatu pokok bahasan.
4. Mulai dari yang luas, mengerucut kepada yang spesifik.
Setelah kita mengajukan pertanyaan yang umum, jawaban biasanya masih bersifat lateral dan sangat bervariasi. Jangan terjebak untuk mendalami setiap respons pada kali pertama respons tersebut muncul, atau Anda akan merasa terjun terlalu detail sehingga kehilangan big picture atas pertanyaan tersebut. Biasakan untuk melakukan listing dengan menuliskan pada secarik kertas atau jika ingin terlihat luwes, hapalkan saja. Setelah semua alternatif respons keluar, baru Anda coba untuk mendalami satu per satu.
5. Lihat juga yang tersirat, bukan hanya yang tersurat.
Isi respons adalah suatu hal, namun bagaimana cara menyampaikan jawaban tersebut juga unsur lain yang perlu diperhatikan. Lihat secara lebih dalam apabila muncul ; senyum kecut, tertawa sinis, anggukan yang gamang, atau respons berapi-api yang tidak wajar. Hal-hal ini memberi sinyal bahwa ada sesuatu di balik jawaban yang diberikan.
6. Gunakan Humor untuk mencairkan suasana.
Banyak keadaan kritis yang bisa dinetralisir dengan humor. Kadang-kadang resistensi atau keengganan menjawab juga dapat diminimalisir dengan humor. Namun demikian, selami budaya peserta untuk memastikan bahwa humor Anda bukan yang menyinggung namun mendekatkan hubungan Anda dan peserta FGD.
7. Jangan menerima jawaban umum yang normatif.
Save the best for last. Saya menyimpan tips paling penting di akhir tulisan ini. sebagai moderator FGD, kualitas analisis kita ditentukan oleh seberapa spesifik respons yang kita dapatkan. Kita tidak menerima jawaban semacam : “ohh service di outlet ini bagus kok…” Jika mendapat jawaban seperti itu, indera moderator Anda harus berdering dan ajukan pertanyaan untuk mendalami jawaban tersebut seperti ;” bagus seperti apa yang ibu maksud..?”. nah kejelian Anda untuk mengidentifikasi respons semacam ini perlu selalu diasah. Amati respons yang memiliki unsur generalisasi, distorsi, atau eliminasi.

PEMBAHASAN

1.      Program pemerintahan Soeharto
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
Sejak Oktober 1966 pemerintah Orde Baru melakukan penataan kembali kehidupan bangsa di segala bidang, meletakkan dasar-dasar untuk kehidupan nasional yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan hukum. Di bidang ekonomi, upaya perbaikan dimulai dengan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Program ini dilaksanakan dengan skala prio ritas:

(1) pengendalian inflasi
(2) pencukupan kebutuhan pangan
(3) rehabilitasi prasarana ekonomi
(4) peningkatan ekspor
(5) pencukupan kebutuhan sandang
Pada permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pembangunan dilaksanakan dalam 2 tahap. Yakni :
·         jangka panjang : jangka panjang mebcakup periode 25 sampai 30 tahun
·         jangka pendek. : jangka pendek mancakup periode 5 tahun yang terkenal dengan sebutan “pelita” ( Pembangunan Lima Tahun ) Pelita yang dimaksud adalah :
• Pelita I (1 April 69 – 31 Maret 74) : Menekankan pada pembangunan bidang pertanian.
• Pelita II (1 April 74– 31 Maret 79) : Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
• Pelita III (1 April 79 – 31 Maret 84) : Menekankan pada Trilogi Pembangunan.
• Pelita IV (1 April 84 – 31 Maret 89) : Menitik beratkan sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
• Pelita V ( 1 April 89 – 31 Maret 94) : Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
• Pelita VI (1 April 94 31 Maret 1999) : Masih menitikberatkan pembangunan pada sektor bidang ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
HASIL PEMBANGUNAN NASIONAL
Dengan meningkatnya investasi dan pengeluaran konsumsi secara tajam dalam dua tahun
terakhir, defisit transaksi berjalan meningkat. Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,5
miliar pada tahun 1994/95 atau 2,0 persen dari PDB dan US$ 6,9 miliar pada tahun 1995/96 atau 3,4 persen dari PDB terutama didorong oleh penanaman modal (asing) langsung. Upaya untuk mengendalikan terus dilakukan, agar defisit tersebut tetap dalam batas-batas yang aman.
Laju inflasi meskipun dapat dipertahankan “single digit”, selama dua tahun Repelita VI masih
di atas rata-rata target Repelita VI (5 persen) yaitu sebesar 9,2 persen dan 8,4 persen dalam tahun
1994 dan 1995. Dalam tahun 1996 ini diharapkan laju inflasi dapat ditekan lagi sehingga tidak lebih dari 7 persen.

A. Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pendidikan
Pembangunan nasional tidak saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi
juga menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin meningkat dan makin merata. Kebutuhan pokok rakyat telah tersedia secara meluas dengan harga yang mantap dan dalam jangkauan rakyat banyak.
Dalam PJP I kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan
yang sangat berarti. Pada awal PJP I, angka harapan hidup baru mencapai rata-rata 45,7 tahun dan telah meningkat menjadi 63,5 tahun pada tahun 1995/96. Dalam periode yang sama, angka kematian bayi telah menurun dari 145 menjadi 55 per seribu kelahiran hidup.
Peningkatan kesejahteraan rakyat ditunjukkan pula oleh meningkatnya ketersediaan jumlah
kalori makanan yang tersedia bagi penduduk Indonesia dari 2.035 kilokalori dalam tahun 1968
menjadi 3.055 kilokalori per kapita per hari pada tahun 1995. Penyediaan protein juga mengalami peningkatan yaitu dari 43,0 gram per kapita per hari pada tahun 1968 menjadi 69,2 gram per kapita per hari pada tahun 1995. Kedua indikator tersebut telah melampaui sasaran Repelita VI yang sebesar 2.150 kilokalori dan 46,2 gram per kapita per hari. Peningkatan rata-rata kalori dan protein ini juga mencerminkan peningkatan pendapatan rakyat banyak serta pemerataan pembangunan.
Keberhasilan di bidang pangan yang antara lain tercermin dari tercapainya swasembada
beras pada tahun 1984 dan diakui oleh FAO pada tahun 1985, telah meningkatkan kemampuan dalam penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Swasembada pangan ini akan terus dipertahankan secara dinamis didukung oleh upaya diversifikasi pangan.
Pada awal PJP I sampai dengan tahun kedua Repelita VI, ketersediaan beras per kapita per
tahun meningkat dari 96,5 kg menjadi 150,9 kg; daging dari 2,7 kg menjadi 8,1 kg; telur dari 0,2 kg menjadi 3,3 kg; ikan dari 8,9 kg menjadi 19,4 kg.
Program wajib belajar enam tahun yang dicanangkan sejak tahun 1984 telah mencapai
sasarannya sebelum PJP I berakhir. Angka partisipasi kasar (APK) pada tingkat sekolah dasar
meningkat dari 68,7 persen pada awal PJP I menjadi 111,9 persen pada tahun 1995/96; dari 16,9
persen menjadi 60,8 persen pada tingkat sekolah lanjutan pertama; dari 8,6 persen menjadi 35,9
persen untuk tingkat sekolah lanjutan atas; dan dari 1,6 persen menjadi 11,4 persen untuk tingkat
pendidikan tinggi.
Keberhasilan program-program pendidikan ini juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta aksara dari 39,1 persen pada tahun 1971 menjadi 12,7 persen pada tahun 1995. Hasil pendidikan ini bukan sekedar statistik. Peningkatan pendidikan akan meningkatkan pendapatan, apresiasi terhadap sekitarnya, kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah, serta membangun kualitas kehidupan bagi generasi berikutnya. Dewasa ini kita sedang memetik hasil dari pendidikan dalam PJP I, sambil menyiapkan pendidikan untuk generasi yang akan datang.
Meningkatnya derajat pendidikan dan juga kesehatan mempunyai dampak terhadap
peningkatan kualitas peranan wanita dalam pembangunan. Derajat pendidikan wanita dari tahun ke tahun terus meningkat yang ditunjukkan oleh makin banyaknya wanita yang menempuh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Pada tingkat SD jumlah murid wanita sudah hampir sama dengan murid laki-laki dengan rasio lebih dari 0.90. Pada tingkat SLTP, SLTA, dan PT rasio tersebut telah mencapai berturut-turut 0,89, 0,84, dan 0,63, dan terus meningkat. Demikian pula halnya dalam bidang kesehatan, mis alnya angka harapan hidup (AHH) wanita bahkan lebih tinggi dari AHH lakilaki, yaitu sebesar 65,3 tahhun pada tahun 1995/96 sedangkan AHH laki-laki yaitu sebesar 61,5 tahun.
Di bidang ekonomi, peningkatan peran wanita ditunjukkan dengan makin banyaknya pekerja wanita yang pada tahun 1990 berjumlah 25,5 juta orang meningkat menjadi 28,5 juta orang pada tahun 1995. Dengan kemajuan tersebut, maka peranan wanita di segala bidang pembangunan makin nyata. Dalam pembangunan perdesaan, misalnya, peran wanita melalui PKK sangat besar kontribusinya.


B. Bidang Agama
Agama mempunyai peran yang sangat penting terhadap pembentukan moral manusia
Indonesia sebagai dasar membentuk manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu, dukungan prasarana dan sarana peribadatan yang memadai memang diperlukan dalam upaya menjalankan kehidupan ibadah yang tenteram dan damai.
Sejak awal PJP I sampai dengan tahun 1995/96 telah dibangun mesjid, gereja Kristen
Protestan, gereja Katolik, Pura, dan Wihara oleh berbagai kalangan baik pemerintah maupun
masyarakat masing- masing sebanyak 600,3 ribu mesjid, 31 ribu gereja Protestan, 14 ribu gereja Katolik, 23,7 ribu Pura dan 4 ribu Wihara. Walaupun sekali waktu dapatg timbul ketegangan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa selama ini telah berhasil diciptakan suasana kehidupan antaragama yang rukun sehingga para pemeluk agama dapat menjalankan ibadahnya dengan tenteram, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

C. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu dasar utama untuk meningkatkan
produktivitas. Berbagai upaya peningkatan teknologi terutama di bidang pertanian dan kesehatan telah membuahkan hasil selama PJP I dan dua tahun pertama Repelita VI telah membuahkan hasil.
Keberhasilan lain yang dapat dicatat adalah meningkatnya kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam industri manufaktur, mulai dari industri dengan teknologi sederhana sampai industri canggih seperti pesawat terbang.

D. Bidang Hukum
Hukum merupakan dasar untuk menegakkan nilai-nilai kemanusian. Berbagai perbaikan di bidang hukum telah dilakukan dan diarahkan menurut petunjuk UUD 1945. Dalam kaitan ini, antara lain telah ditetapkan Un dang-undang tentang KUHAP, Undang-undang tentang Hak Cipta, Paten, dan Merek, kompilasi hukum Islam, dan lain-lain. Agar hukum dapat dijalankan berdasarkan peraturan- peraturan yang berla ku, telah pula dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat luas maupun kepada aparat pemerintah. Perbaikan aparatur hukum terus menerus dilakukan meskipun belum mencapai hasil yang optimal, dan belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan keadilan masyarakat.
E. Bidang Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa
Pembangunan politik selama PJP I dan dua tahun Repelita VI telah dapat mewujudkan
tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis sehingga memungkinkan pelaksanaan
pembangunan nasional yang menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik.
Pembangunan politik juga telah mendorong terciptanya iklim keterbukaan yang bertanggung
jawab serta makin mantapnya pelaksanaan demokrasi Pancasila. Hal ini terutama dengan telah
adanya pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila serta telah diterimanya Pancasila sebagai
satu-satunya azas berbangsa dan bernegara oleh seluruh organisasi sosial politik dan organisasi
kemasyarakatan. Selain itu, perlu dicatat pula perampingan organisasi peserta pemilu dari 10 peserta pada pemilu tahun 1971 menjadi 3 peserta.
Dalam hubungannya dengan politik luar negeri, Indonesia telah memainkan peranan yang
cukup penting dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Antara lain patut dicatat peranan
Indonesia di PBB, ASEAN, Gerakan Non Blok, dan APEC.
Dalam upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas pembangunan, kualitas dan kuantitas
aparatur negara terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini juga dilakukan penataan organisasi Departemen dan lembaga Non Departemen. Peningkatan kemampuan kegiatan penerangan, komunikasi, dan media massa (TV, radio,majalah, dan surat kabar) telah meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa.

F. Bidang Pertahanan Keamanan
Stabilitas keamanan di dalam negeri merupakan tulang punggung upaya pembangunan
nasional. Dalam hal ini manunggalnya ABRI dengan rakyat dan mantapnya dwi fungsi ABRI
merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan selama PJP I sampai pertengahan
pelaksanaan Repelita VI sekarang ini. Pembangunan pertahanan keamanan terus dilakukan sesuai dengan Sishankamrata, dan dengan terus memperkuat kemampuan ABRI dalam melaksanakan kedua fungsinya. II. Visi Pembangunan PJP II dan Repelita VII
Berdasarkan GBHN 1993, kata kunci dalam PJP II adalah kemajuan, kemandirian, dan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan
seperti yang diinginkan, berbagai kegiatan pembangunan harus tumbuh dan berkembang cepat
dengan makin mengandalkan kemampuan sendiri. Titik berat pembangunan dalam PJP II terletak
pada bidang ekonomi yang merupakan penggerak pembangunan, seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam PJP II, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan cukup tinggi, yaitu rata-rata di atas 7
persen per tahun sedangkan laju pertumbuhan penduduk akan menjadi di bawah 0,9 persen per
tahun menjelang akhir PJP II. Jika kedua sasaran tersebut dapat dicapai maka pendapatan per kapita Indonesia diharapkan akan meningkat menjadi sekitar US$ 3.800 (berdasarkan US$ 1993). Pada saat itu ekonomi Indonesia telah menjadi salah satu ekonomi yang besar di dunia, dengan ukuran Purchasing Power Parity (PPP) sekitar US$ 2,0 triliun.
Dalam Repelita VII, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk ditargetkan di atas 7 persen dan 1,4 persen rata-rata per tahun. Dengan kedua sasaran ini, pendapatan per kapita pada
akhir Repelita VII diharapkan dapat mencapai sekitar US$ 1.400 (berdasarkan US$ 1993), atau
sekitar US$ 2.000 pada harga yang berlaku. Pada saat itu ekonomi Indonesia telah dapat digolongkan ke dalam negara industri baru. Sektor industri akan merupakan penggerak perekonomian. Sektor industri juga makin diandalkan sebagai penyerap tenaga kerja, secara bertahap menggantikan peran sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan cukup tinggi tersebut, diupayakan makin bersumber pada sumber daya manusia yaitu dari peningkatan produktivitas dan efisiensi, di samping pemanfaatan pertumbuhan tenaga kerja dan modal.
Peningkatan produktivitas dan efisiensi erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia yang tercermin antara lain pada peningkatan keterampilan, kreativitas, kemampuan
teknologi, dan kemampuan manajemen serta kepimpinan yang efektif dan tepat di samping
penyempurnaan dan pembaharuan kelembagaan. Unsur yang teramat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia ini adalah pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja.
Di bidang pendidikan, program yang utama adalah Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang dimulai sejak awal Repelita VI dan diharapkan sudah tuntas pada akhir Repelita VII, selambat- lambatnya pada Repelita VIII. Mutu pendidikan juga terus meningkat dan pendidikan sudah harus mengarah dan tanggap terhadap kebutuhan dunia usaha setempat.
Pada akhir PJP II, seluruh angkatan kerja sudah berpendidikan sekurang-kurangnya 9 tahun
dan sebagian besar sudah berpendidikan sekurang-kurangnya 12 tahun. Angkatan kerja sarjana akan semakin banyak. Tingkat keterampilan sudah makin tinggi sehingga produktivitas tenaga kerja tidak akan berbeda jauh dari negara-negara yang saat ini termasuk kelompok industri baru.
Sasaran di bidang kesehatan adalah mengupayakan peningkatan pelayanan kesehatan dan
perbaikan gizi masyarakat sehingga dapat menaikkan usia harapan hidup menjadi 66,3 pada akhir
Repelita VII dan 70,6 tahun pada akhir PJP II dari 62,7 tahun pada akhir PJP I. Tingkat kematian
bayi per seribu kelahiran menjadi 43 pada akhir Repelita VII dan 26 pada akhir PJP II.
Seiring dengan proses transformasi produksi, struktur tenaga kerja akan berubah sangat
cepat yaitu dari tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri dan sektor jasa. Pada akhir Repelita
VII tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian akan turun menjadi sekitar 39 persen dan
sisanya di luar sektor pertanian. Sedangkan pada akhir PJP II, tenaga kerja yang bekerja pada sector pertanian diharapkan hanya tinggal sekitar 27 – 28 persen dan sisanya di luar sektor pertanian. Hal ini dimungkinkan dengan meningkatnya kemampuan tenaga kerja baik secara profesional maupun kualifikasi teknisnya. Proses ini akan mendorong terbentuknya kelas menengah yang makin kuat dan akan menjadi tulang punggung perekonomian yang handal.
Dalam PJP II, lapisan usaha menengah makin kuat yang akan saling mendukung dengan
lapisan usaha kecil yang kukuh, dan dengan usaha besar yang diharapkan juga makin luas basisnya.
Di samping itu untuk mendukung kegiatan perekonomian, pembangunan di bidang prasarana di dalam PJP II juga akan ditingkatkan melalui pembangunan prasarana dan sarana ekonomi berupa listrik, jalan, telepon, air, dan pelabuhan. Tersedianya berbagai prasarana ini secara memadai tidak saja akan mendukung kegiatan produksi tetapi juga memperlancar arus distribusi sehingga dapat menekan biaya-biaya ekonomi. Peranan swasta dalam penyediaan prasarana akan makin membesar terutama di daerah-daerah yang kelayakan ekonominya memungkinkan inves tasi swasta. Dengan  demikian investasi pemerintah di bidang prasarana akan makin diarahkan untuk wilayah atau kawasan yang tertinggal dan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat miskin.
Pembangunan nasional tidak saja mengejar pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun lebih luas lagi yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta stabilitas yang mantap dan dinamis. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan bermakna kalau disertai peningkatan nyata dalam kesejahteraan rakyat yang makin adil dan merata. Masalah kemiskinan absolut diharapkan sebagian besar sudah teratasi pada akhir Repelita VII dan sisanya yang terdapat di kantung-kantung kemiskinan harus diupayakan berakhir tuntas sebelum PJP II berakhir. Dengan demikian upaya pemerataan pembangunan akan merupakan pekerjaan besar dalam PJP II.
Kesenjangan pembangunan antardaerah secara sistematis dan konsisten akan terus dikurangi. Meskipun dalam 25 tahun mendatang kesenjangan ini belum dapat dihilangkan sama
sekali, yang dapat diupayakan adalah mencegah agar jurang kesenjangan tidak makin melebar.
Sehubungan itu, kawasan terbelakang akan memperoleh perhatian khusus agar dapat melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan dan dapat turut maju sebagaimana kawasan lainnya yang telah lebih dahulu berkembang.
Kualitas demokrasi pada akhir PJP II akan makin meningkat sebagai hasil dari peningkatan
kualitas lembaga-lembaga sosial politik dan pelakunya. Kehidupan yang makin transparan diharapkan tidak saja terlihat dalam bidang ekonomi namun juga dalam kehidupan masyarakat pada umumnya termasuk di bidang politik. III. Tantangan-Tantangan Pembangunan
Untuk mencapai sasaran pembangunan dan wujud masa depan bangsa Indonesia dalam PJP
II dan Repelita VII seperti pokok-pokoknya diuraikan di atas bukanlah pekerjaan yang mudah.
Banyak tantangan pembangunan harus dihadapi bangsa Indonesia. Tantangan-tantangan tersebut
dapat berasal dari luar atau dari dalam dan dapat bersumber dari faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Dalam Repelita VII mendatang, Indonesia akan memasuki abad ke-21 dimana globalisasi dan proses perubahan akan berlangsung sangat cepat. Dalam era tersebut persaingan antarbangsa akan menjadi makin ketat sehingga peningkatan daya saing merupakan suatu keharusan.
Persiapan sejak dini perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Segala modal yang telah
dimiliki, tantangan, peluang, dan kendala harus dapat diidentifikasi secara cermat dan terperinci
sehingga strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan yang harus dilakukan akan dapat dirumuskan
sebaik-baiknya. Tantangan yang pertama adalah di bidang ekonomi sehubungan dengan proses globalisasi. Kurun waktu Repelita VII akan bersamaan dengan diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) pada tahun 2003. Pada tahun 2020, dua tahun setelah berakhirnya PJP II, Kawasan Bebas Perdagangan Asia Pasifik juga akan berlaku.
Ekonomi Indonesia akan makin terintegrasi ke dalam ekonomi ASEAN dan Asia Pasifik
dalam jangka panjang. Dengan ditiadakannya perlindungan oleh setiap negara, persaingan dalam
kawasan ini akan makin keras. Untuk itu efisiensi ekonomi dan produktivitas tenaga kerja perlu
ditingkatkan. Terlebih lagi karena persaingan yang akan terjadi terutama adalah antarunit produksi.
Untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, perlu dilanjutkan upaya deregulasi dan
debirokratisasi dalam rangka penyempurnaan lembaga-lembaga ekonomi kita. Dalam kaitan ini,
berbagai pungutan yang tidak mempunyai dasar jelas dan akan meningkatkan biaya ekonomi harus ditiadakan. Produktivitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Pada saat ini kualitas SDM yang kita miliki masih berada di bawah negara-negara tetangga yang telah lebih dulu maju. Dengan demikian upaya mengejar ketertinggalan dalam pengembangan sumber daya manusia juga merupakan tantangan agar dapat menciptakan manusia yang produktif dan berdaya saing tinggi.
Tantangan yang kedua adalah pengangguran dan lapangan kerja. Masalah pengangguran dan masalah penyediaan lapangan kerja tetap akan dihadapi dalam kurun pembangunan yang akan datang dengan permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan Repelita-repelita sebelumnya. Walaupun laju pertumbuhan penduduk Indonesia sudah menurun, namun karena
penduduknya besar maka secara absolut tambahan penduduk setiap tahunnya masih besar dan ini
akan berpengaruh terhadap jumlah angkatan kerja. Misalnya dalam tahun 1995 jumlah pengangguran terbuka telah meningkat menjadi 5,9 juta orang atau 7,0 persen dari angkatan kerja, dari 2,3 juta orang atau 3,2 persen pada tahun 1990, walaupun pertumbuhan penduduk menurun dari 1,66 persen pada tahun 1990 menjadi 1,60 persen pada tahun 1995. Sedangkan pengangguran terselubung pada periode 1990 – 1995 diperkirakan sekitar 36 persen dari angkatan kerja.
Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka harapan tenaga kerja
terhadap pekerjaan yang diinginkan akan semakin tinggi. Ini mendorong angkatan kerja untuk
menunggu jenis pekerjaan yang sesuai dengan taraf pendidikannya dan secara absolut ini akan
mendorong meningkatnya pengangguran bagi angkatan kerja yang berpendidikan baik SLTA
maupun Universitas. Pada tahun 1990, jumlah pengangguran yang termasuk dalam kelompok ini
adalah sebesar 117,4 ribu orang dan meningkat menjadi 404,6 ribu orang pada tahun 1995 atau dari 5,01 persen menjadi 6,85 persen dari pencari kerja.
Selain itu, transformasi ekonomi akan mengakibatkan terjadinya pergeseran angkatan kerja
dari sektor yang mempunyai upah yang rendah ke sektor yang mempunyai upah yang lebih tinggi.
Salah satu akibatnya adalah adanya urbanisasi yang semakin besar dari angkatan kerja yang ada di perdesaan ke kota-kota besar. Berarti akan ada tantangan untuk penataan wilayah perkotaan, baik secara fisik maupun dari segi ekonomi dan sosial.
Tantangan yang berikutnya adalah masalah kemiskinan. Meskipun jumlahnya terus
berkurang, namun laju penurunan penduduk miskin semakin rendah dan lokasinya makin terpusat
pada kantung-kantung kemiskinan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan secara
mendasar masih merupakan tantangan yang harus dipecahkan. Masalah kemiskinan ini kita harapkan sudah dapat dituntaskan dalam Repelita VII. Dalam Repelita VII, bangsa Indonesia sudah memasuki jaman dunia baru yang ditandai dengan keterbukaan dan persaingan yang peluangnya belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh golongan ekonomi lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan makin melebarnya kesenjangan.
Oleh karena itu, apabila untuk menegakkan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan
menggerakkan kegiatan ekonomi diperlukan deregulasi, maka untuk mengatasi kesenjangan
diperlukan intervensi, yakni melindungi dan memberikan kesempatan bagi yang lemah untuk tumbuh. Erat kaitannya dengan masalah kesenjangan adalah masalah kesempatan berusaha. Kegiatan usaha di Indonesia sebagian besar didominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya sedikit dengan asset yang besar, sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat besar hanya memiliki asset dalam jumlah yang kecil. Sementara itu, lapisan pengusaha menengah belum berkembang secarasehat dan mantap (Data BPS: dalam tahun 1993, jumlah industri kecil yaitu dengan jumlah tenaga kerja di bawah 20 orang sebanyak 2,5 juta pengusaha atau 99,27 persen dengan nilai tambah bruto sekitar Rp 4,0 triliun atau 7,48 persen. Sedangkan industri besar dan sedang berjumlah 18,2 ribu pengusaha atau 0,73 persen dengan nilai tambah bruto sebesar Rp 49,8 triliun atau 92,52 persen dari total nilai tambah bruto). Struktur dunia usaha yang demikian tidak kukuh, di samping tidak mencerminkan cita-cita demokrasi ekonomi seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Oleh karena itu sejalan dengan upaya deregulasi dan terbukanya pasar secara luas, harus dikembangkan langkah-langkah membangun usaha menengah dan kecil termasuk koperasi sehingga menjadi kuat. Dalam rangka itu, kemitraan perlu terus ditingkatkan dan diupayakan agar menjadi pola dalam kehidupan ekonomi kita.
Mewujudkan hal ini merupakan tantangan yang tidak mudah, tetapi mutlak harus dilakukan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan akan sulit untuk dicapai tanpa
dukungan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Hal-hal yang dengan susah payah dibangun
melalui pertumbuhan dan pemerataan dapat dengan mudah hancur karena gangguan stabilitas.
Dalam rangka stabilitas nasional salah satu sisinya adalah stabilitas ekonomi makro. Laju
inflasi harus senantiasa diusahakan cukup rendah dan neraca pembayaran harus terpelihara dengan
aman. Oleh karena itu, memelihara stabilitas ekonomi tetap merupakan tantangan pembangunan di masa depan. Erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi adalah stabilitas politik. Dalam Repelita VII, suasana kehidupan politik nasional akan semakin diwarnai oleh upaya untuk lebih meningkatkan kualitas berdemokrasi, iklim keterbukaan, partisipasi kearah perbaikan dan pembaharuan, serta kesadaran akan kemajemukan. Dengan demikian menjaga stabilitas politik merupakan pekerjaan yang rumit dan memerlukan pendekatan-pendekatan yang “canggih”. Oleh karena itu, merupakan tantangan pula untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa, mengembangkan dan memantapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diselenggarakan secara sehat, dinamis, kreatif, dan efektif.

2.      Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
* perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
* sukses transmigrasi
* sukses KB
* sukses memerangi buta huruf
* sukses swasembada pangan
* pengangguran minimum
* sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
* sukses Gerakan Wajib Belajar
* sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
* sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
* sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

* semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
* pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
* munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
* kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
* bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
* kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
* kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
* penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
* tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)



3. Lembaga negara masa orde baru yang berkaitan dengan trias politica montesquieu:
a)   Lembaga Legislatif

Dilihat dari kata Legislate yang bermakna lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Namun tidak hanya sebatas membuat undang-undang, melainkan juga merupakan wakil rakyat atau badan parlemen. Pernyataan ini didasari oleh teori kedaulatan rakyat yaitu teori yang bertentangan dengan teori monarki dan absolutisem. Jadi hakikatnya badan legislatif digunakan untuk mencegah terjadinya tindakan sikap absolut dari pemerintah pusat atau presiden. Adapun fungsi dari badan legislatif sebagai berikut:

1. Question Hour/Pertanyaan Parlemen Anggota legislatif diizinkan mengajukan pertanyaan kepada pemerintahn pusat mengenai hal-hal yang perlu ditanyakan yang jelasnya berkaitan dengan nasib rakyat.

2.  InterpelasiHak anggota legislatif untuk meminta keterangan pada kebijakan pemerintah pusat terutama yang telah dilaksanakan di lapangan.

3. Engquete/AngketHak untuk anggota legislatif untuk melakukan penyelidikan sendiri dengan cara membentuk panitia penyelidik.

4.  MosiHak kontrol yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.

b)  Lembaga Eksekutif

Secara umum arti lembaga eksekutif adalah pelaksanaan pemerintah yang dikepalai oleh presiden yang dibantu pejabat, pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Sedangkan wewenang menurut Meriam Budiardjo mencangkup beberapa bidang:§  Diplomatik: menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya.§  Administratif: melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara.§  Militer: mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila di dalam keadaan yang mendukung.§  Legislatif: membuat undang-undang bersama dewan perwakilan.§  Yudikatif: memberikan grasi dan amnesti.

           Tipe Lembaga eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:

1. Hareditary Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih berdasarkan keturunan. Contohnya adalah Inggris dengandipilihnya kepala negara dari keluarga kerajaan.

2. Elected Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan legislatif ataupun lembaga pemilihan.

           Sistem Lembaga Eksekutif terbagi menjadi dua:

1. Sistem Pemerintahan Parlementer : Kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah. Kepala pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala negara dipimpin oleh presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi sebagai simbol suatu negara yang berdaulat.

2. Sistem Pemerintahan Presidensial   : Kepala pemerintahan dan kepala negara, keduanya dipegang oleh presiden.

c)  Lembaga Yudikatif

Lembaga ini merupakan lembaga ketiga dari tatanan politik Trias Politica yang berfungsi mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Fungsi Lembaga Yudikatif  adalah sebagai alat penegakan hukum, penyelesaian penyelisihan, hak menguji apakah peraturan hukum sesuai atau tudak dengan UUD dan landasan Pancasila, serta sebagai hak penguji material.

4.      Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.
DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru.

5. Bukti penyimpangan asas pancasila pada masa orde baru
1.      Asas kekeluargaan sebagaimana yang terkandung secara tersirat di dalam kelima sila di Pancasila ini disalahartikan menjadi praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan terutama Nepotisme (KKN).
2.      Asa keadilan sosial , bentuk otoritarian ini tentu saja tidak sesuai dengan hukum negara kita dimana seharusnya Indonesia berbentuk negara demokrasi, yang tentu saja mengutamakan rakyat, dari, untuk, dan oleh rakyat.




KESIMPULAN

Pada masa orde baru banyak program yang dijalankan oleh presiden Soeharto seperti di bidang ekonomi, upaya perbaikan dimulai dengan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, di bidang agama telah dibangun mesjid, gereja Kristen Protestan, gereja Katolik, Pura, dan Wihara oleh berbagai kalangan baik pemerintah maupun masyarakat masing- masing sebanyak 600,3 ribu mesjid, 31 ribu gereja Protestan, 14 ribu gereja Katolik, 23,7 ribu Pura dan 4 ribu Wihara.
Kelebihan sistem pemerintahan orde baru yaitu perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000, sukses transmigrasi, sukses KB, sukses memerangi buta huruf. Kekurangan sistem pemerintahan orde baru yaitu semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme, pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat, munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua.
Bukti penyimpangan asas pancasila pada masa orde baru yaitu asas kekeluargaan sebagaimana yang terkandung secara tersirat di dalam kelima sila di Pancasila ini disalahartikan menjadi praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan terutama Nepotisme (KKN), asa keadilan sosial , bentuk otoritarian ini tentu saja tidak sesuai dengan hukum negara kita dimana seharusnya Indonesia berbentuk negara demokrasi, yang tentu saja mengutamakan rakyat, dari, untuk, dan oleh rakyat.
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dikarenakan pada pertengahan 1997 Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".

0 comments: